Sabtu, 11 Maret 2017

Praktikum Genetika (Frekuensi Gen)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Evolusi secara genetik dapat diartikan sebagai perubahan frekuensi alel gen dalam populasi. Berdasarkan hal ini, kemungkinan evolusi melalui perubahan alel gen dapat diprediksi. Melipat dan menggulung lidah dipengaruhi oleh gen autosomal dominan. Yang dimaksud sifat autosomal adalah sifat keturunan yang ditentukan oleh gen pada autosom. Gen ini ada yang dominan, dan ada yang resesif. Laki-laki dan perempuan mempunyai autosom yang sama, sehingga sifat keturunan yang ditentukan oleh gen autosomal dapat dijumpai pada laki-laki maupun perempuan.
Hukum Hardy-Weinberg menyatakan, “Di bawah suatu kondisi yang stabil, baik frekuensi gen maupun perbandingan genotip akan tetap (konstan) dari generasi ke generasi pada populasi yang berbiak secara seksual”. Suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam kesetimbangan dari satu generasi ke generasi lainnya kecuali apabila terdapat pengaruh-pengaruh tertentu yang mengganggu kesetimbangan tersebut.
Prinsip Hardy-Weinberg hanya berlaku pada kondisi-kondisi tertentu seperti populasi besar dan perkawinan terjadi acak, hal ini untuk menghindari genetic drift, perubahan frekuensi genetik dari deviasi kebetulan. Pada populasi-populasi yang stabil (yang memenuhi syarat Hardy Winberg ) frekuensi gen sesuai dengan hukum-hukum sederhana probilitas. Dengan demikian, dalam suatu populasi tertentu, frekuensi individu yang homozigot AA sama dengan probilitas terdapat dua alel A secara bersamaan dalam sebuah zigot.
Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan pratikum mengenai frekuensi gen dalam suatu populasi untuk menghitung frekuensi alel dan frekuensi gen simulasi kancing.
1.2  Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah mempelajari, mengetahui dan menghitung frekuensi gen dengan simulasi kancing. Adapun manfaat dari praktikum adalah praktikan dapat memahami hubungan dinamis antara gen dalam populasi dengan lingkungannyadan juga praktikan dapat membuktikan prinsip keseimbangan hukum Hardy Weinberg.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hukum Mendel
Gregor Johann Mendell (1822–1884) ialah seorang biarawan dan ahli botani yang berasal dari Austria. Ia adalah peletak dasar-dasar teori hereditas atau pewarisan sifat genetika. Teori yang disebut Hukum Mendell tersebut menjadi dasar pengembangan genetika modern. Mendel dapat mengembangkan beberapa hukum. Ada dua hukum yang terkenal, yaitu Hukum Mendel I dan Hukum Mendel II. Hukum Mendel I atau hukum segregasi dapat dibuktikan denga persilangan monohibrid (persilangan dengan satu sifat beda). Hukum Mendel II atau hukum pengelompokan secara bebas dapat dibuktikan dengan persilangan dihibrid (persilangan dengan dua sifat beda). Hal ini berlaku untuk semua makhluk hidup baik hewan, tumbuhan, maupun manusia (Syamsuri, 2006).
Hukum pewarisan Mendel adalah hukum mengenai pewarisan sifat pada organisme, yang kita kenal dengan hukum segregasi dan hukum asortasi bebas, yang telah di jabarkan oleh  Gregor Johann Mendel . Mendel mengatakan bahwa pada pembentukan gamet (sel kelamin), kedua gen induk (Parent) yang merupakan pasangan alel akan memisah sehingga tiap-tiap gamet menerima satu gen dari induknya sebagaimana bunyi hukum mendel I, dan bunyi hukum mendel II, menyatakan bahwa bila dua individu mempunyai dua pasang atau lebih sifat, maka diturunkannya sepasang sifat secara bebas, tidak bergantung pada pasangan sifat yang lain (Syamsuri, 2006).
2.1.1 Hukum Mandel I
Hukum mendel I adalah perkawinan dua tetua yang mempunyai satu sifat beda (monohibrit). Setiap indifidu yang berkembang baik secara seksual terbentuk dari perleburan  2 gamet yang berasal dari induknya. Berdasarkan hipotesis mendel dari setiap sifat/karakter ditentukan oleh gen (sepasang alel). Hokum mendel I berlaku pada waktu gametogenesis F1. F1 memiliki genotip heterozigot. Dalam peritiwa meiyosis, gen sealel akan terpisah , mesisng-masing terbentuk gamet. Baik pada bunga jantan maupun bunga betina terjadi 2 macam gamet. Waktu terjadi penyerbukan sendiri (F1 x F2) dan pada proses fertilisasi gamet-gamet yang mengandung gen itu akan melebur secara acak dan terdapat 4 macam peleburan atau peristiwa.( Suryati Doti, 2011).
Hukum Mendel I dikenal sebagai hukum Segregasi. Selama proses meiosis berlangsung, pasangan-pasangan kromosom homolog saling berpisah dan tidak berpasangan lagi. Setiap set kromosom itu terkandung di dalam satu sel gamet. Proses pemisahan gen secara bebas dikenal sebagai segregasi bebas. Hukum Mendel I dikaji dari persilangan monohibrid. (Syamsuri, 2006:101)
Hukum Mandel I berlaku pada gametogenesis F1. F1 itu memiliki genotif heterozigot. Baik pada bunga betina maupun benang sari, terbentuk dua macam gamet. Maka kalau  terjadi penyerbukan sendiri (F1 x F1) terdapat empat  macam perkawinan. (Wildan Yatim, 2008).
Pada galur murni akan menampilkan sifat-sifat dominan (alel AA) maupun sifat resesif (aa) dari suatu karakter t. Bila disilangkan, F1 akan mempunyai kedua macam alel (Aa) tetapi menampakkan sifat dominan (apabila dominant lengkap). Sedangkan individu heterozigot (F1) menghasilkan gamet-gamet, setengahnya mempunyai alele dominant A dan setengahnya mempunyai alele resesif a. Dengan rekomendasi antara gamet-gamet secara rambang populasi F2 menampilkan sifat-sifat dominant dan resesif dengan nisbah yang diramalkan. Nisbah fenotif yaitu 3 dominan (AA atau Aa) : 1 resesif (aa). Nisbah geneotif yaitu 1 dominan lengkap (AA) : 2 hibrida (Aa) : 1 resesif lengkap (aa). (Crowder, 2007)
2.1.2  Hukum Mandel II
Hukum Mendell II dikenal dengan Hukum Independent Assortment, menyatakan: ‘bila dua individu berbeda satu dengan yang lain dalam dua pasang sifat atau lebih, maka diturunkannya sifat yang sepasang itu tidak bergantung pada sifat pasangan lainnya’. Hukum ini berlaku untuk persilangan dihibrid (dua sifat beda) atau lebih (Muhsinin, 2014).

Hukum Mendel II dikenal juga sebagai hukum Asortasi atau hukum berpasangan secara bebas. Menurut hukum ini,  setiap gen atau sifat dapat berpasangan secara bebas dengan gen atau sifat  lain. Meskipun demikian, gen untuk satu  sifat tidak  berpengaruh pada gen  untuk sifat yang lain yang bukan  juga termasuk alelnya (Syamsuri, 2006).
Hukum kedua Mendel menyatakan bahwa bila dua individu mempunyai dua pasang atau lebih sifat, maka diturunkannya sepasang sifat secara bebas, tidak bergantung pada pasangan sifat yang lain. Dengan kata lain, alel dengan gen sifat yang berbeda tidak saling mempengaruhi. Hal ini menjelaskan bahwa gen yang menentukan tinggi tanaman dengan warna bunga suatu tanaman, tidak saling mempengaruhi. Persilangan dari induk dengan satusifat dominan disebut monohibrid, sedang persilangan dari induk-induk dengan dua sifatdominan dikenal sebagai dihibrid, dan seterusnya (Wildan Yatim, 2008).
Hukum Mendel II  ini hanya berlaku untuk gen yang letaknya berjauhan.
Jika keduagen itu letaknya berdekatan hukum ini tidak berlaku. Hukum Mendel 2 ini juga tidak  berlaku untuk persilangan monohibrid (Wildan Yatim, 2008).
2.2 Hukum Hardy Weinberg
Hardy dan Weinberg (1908) adalah pakar matematika yang menemukan dasar-dasar yang ada hubungannya dengan frekuensi gen didalam populasi yang dikenal dengan prinsip equilbrium Hardy Weinberg. Hukum tersebut menyatakan bahwa frekuensi gen akan tetap dari generasi kegenerasi seterusya dalam populasi yang besar, keadaan populasi tersebar secara acak, tidak ada seleksi dan migrasi. Hukum ini ternyata mengikuti model matematis dengan rumus binomium (a +  dimana memperlihatkan pemisahan dari sepasang alel tunggal pada persilangan monohibrid yaitu perkawinan yang menghasilkan pewarisan satu karakter dengan dua sifat beda (Muhsinin, 2014).
Frekuensi alel yang statis dalam suatu populasi dari generasi ke generasi mengasumsikan adanya perkawinan acak, tidak adanya mutasi, tidak adanya migrasi ataupun emigrasi, populasi yang besarnya tak terhingga, dan ketiadaan tekanan seleksi terhadap sifat-sifat tertentu. Contoh paling sederhana dapat terlihat pada suatu lokus tunggal beralel ganda: alel yang dominan ditandai A dan yang resesif ditandai a. Kedua frekuensi alel tersebut ditandai p dan q secara berurutan; freq(A) = p; freq(a) = q; p + q = 1. Apabila populasi berada dalam kesetimbangan, maka freq(AA) = p2 untuk homozigot AA dalam populasi, freq(aa) = q2 untuk homozigot aa, dan freq(Aa) = 2pq untuk heterozigot. Konsep ini juga dikenal dalam berbagai nama: Kesetimbangan Hardy-Weinberg, Teorema Hardy-Weinberg, ataupun Hukum Hardy-Weinberg. Asas ini dinamakan dari G. H. Hardy dan Wilhelm Weinberg (Crow, 2006).
Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum keseimbangan Hardy-Weinberg (Crow, 2006).
Syarat berlakunya asas Hardy-Weinberg adalah:
·           Setiap gen mempunyai viabilitas dan fertilitas yang sama
·           Perkawinan terjadi secara acak
·           Tidak terjadi mutasi gen atau frekuensi terjadinya mutasi, sama besar.
·           Tidak terjadi migrasi
·           Jumlah individu dari suatu populasi selalu besar
Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka frekuensi alel dan frekuensi genotipe dalam suatu populasi akan konstan dan evolusi pun tidak akan terjadi. Tetapi dalam kehidupan, syarat-syarat tersebut tidak mungkin terpenuhi sehingga evolusi dapat terjadi. Suatu keseimbangan yang lengkap di dalam gene pool tidak pernah dijumpai, perubahan secara evolusi adalah sifat – sifat fundamental dari kehidupan suatu populasi ( Sweety Hamster Rescue, 2012).




BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Agroklimatologi dan Statistika, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin pada hari sabtu 26 Maret 2016 pukul 13.00 sampai selesai.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat tulis menulis beserta mistar.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah 200 kancing warna merah dan 200 kancing warna putih dan amplot folio.
3.3 Metode Praktikum
Metode yang digunakan dalam praktiku ini adalah:
1.        Memasukkan masing-masing 100 kancing warna merah dan 100 kancing warna putih kedalam amplop yang telah disediakan.
2.        Mengambil dua kancing secara acak dengan perhitungan 60, 80 dan 100 kali pengambilan.
3.        Mencatat dan menghitung frekuensi kemunculan warna kacing merah dan putih.



 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Pengambilan 60 kali



Genotip
AA
Aa
aa
Total
Jumlah
20
33
7
60
Simbol
p2
2pq
q2
1
Rumus
p2AA
2pqAa
q2aa
-
Frekuensi
0,6
-
0,4
1

4.1.2 Pengambilan 80 kali



Genotip
AA
Aa
aa
Total
Jumlah
22
35
23
80
Simbol
p2
2pq
q2
1
Rumus
p2AA
2pqAa
q2aa
-
Frekuensi
0,5
-
0,5
1




4.1.3 Pengambilan 100 Kali



Genotip
AA
Aa
aa
Total
Jumlah
25
51
24
100
Simbol
p2
2pq
q2
1
Rumus
p2AA
2pqAa
q2aa
-
Frekuensi
0,5
-
0,5
1

 
4.2 Pembahasan
Pada pengambilan kancing 60 kali didapatkan hasil merah-merah 20, merah-putih 33 dan putih-putih 7. Oleh karena itu didapatkan hasil dari perhitungan pada kancing merah-merah adalah 0,6 dan putih-putih 0,4 sehingga didapatkan hasil frekuensi yaitu 1. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbandingan dari pengambilan 60 kali ini adalah 1:2:1 (1 merah-merah : 2 merah-putih : 1 putih-putih).
Pada pengambilan kancing 80 kali didapatkan hasil merah-merah 22, merah-putih 35 dan putih-putih 23. Oleh karena itu didapatkan hasil dari perhitungan pada kancing merah-merah adalah 0,5 dan putih-putih 0,5 sehingga didapatkan hasil frekuensi yaitu 1. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbandingan dari pengambilan 80 kali adalah 1:2:1 (1 merah-merah : 2 merah-putih : 1 putih-putih).
Kemudian pada pengambilan kancing 100 kali didapatkan hasil merah-merah 25, merah-putih 51 dan putih-putih 24. Oleh karena itu didapatkan hasil dari perhitungan pada kancing merah-merah adalah 0,5 dan putih-putih 0,49 sehingga didapatkan hasil frekuensi 1. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbandingan dari pengambilan 100 kali adalah 1:2:1 (1 merah-merah: 2 merah-putih :1 putih-putih).
Setelah melakukan beberapa pengambilan (60x, 80x, dan 100x) model gen jantan baik merah maupun putih dan model gen betina baik merah maupun putih dengan tanpa melihat dan sambil mencampur gen-gen tersebut, didapat nisbah atau perbandingan genotipe yang sesuai dengan yang diharapkan seperti yang dilakukan oleh Mendel yaitu 1 : 2 : 1 (1 merah-merah : 2 merah-putih : 1 putih-putih). Hal ini disebabkan karena penggabungan (zigot) gamet-gamet dari tiap tetua untuk membentuk sel pertama dari zuriat individu baru terjadi secara acak, dan terjadi tanpa ditentukan oleh gen yang dibawanya.


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada praktikum ini dapat disimpulkan bahwa
1. Pada pengambilan 60, 80 dan 100 kali menghasilkan perbandingan yang sama yaitu 1:2:1 (1 merah-merah : 2 merah-putih : 1 putih-putih) 1 untuk homozigot dominan : 2 untuk heterozigot : 1 untuk homozigot resesif.
2. Penggabungan (zigot) gamet-gamet dari tiap tetua untuk membentuk sel pertama dari zuriat individu baru terjadi secara acak, dan terjadi tanpa ditentukan oleh gen yang dibawanya.
5.2 Saran
Untuk menghindari kesalahan perhitungan sebaiknya pengamatan dilakukan secara hati-hati dan tidak terburu-buru agar didapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.



DAFTAR PUSTAKA
Crow, Jf (Jul 2006). "Hardy, Weinberg and language impediments."  Genetics 152 (3): 821–5. ISSN 0016-6731. PMC 1460671. PMID 10388804.
Crowder, L. V. 2007. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. http:// id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Pewarisan_Mendel.
Muhsinin, S. 2014. Biologi. Jakarta. Cmedia Imprint Kawan Pustaka.
Suryati, Dotti. 2011. Penuntun Pratikum Genetika Dasar. Bengkulu: Lab. Agronomi Universitas Bengkulu.
Sweety Hamster Love “Hamster Rescue” . 2012. Variasi genetik sebagai dasar evolusi, mutasi gen, frekuensi gen dalam populasi dan hukum hardy- weinberg. (bag 2) (online)
Syamsuri, Istamar, dkk. 2006. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Yatim, Wildan. 2008. Genetika. Bandung: TARSITO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar